SI DUNGU YANG GAGAL BERPURA-PURA PINTAR
KUALITAS – SI PEMBEDA DUNGU DAN PINTAR
Dalam bidang apapun, “Kualitas” adalah mutlak dibutuhkan untuk dapat memerankan atau mengerjakan atau melakukan sesuatu dengan baik.
Kualitas adalah tingkat tinggi rendahnya sesuatu atau baik buruknya sesuatu atau kadar ; yang kesemuanya didapatkan sebagai hasil dari proses akumulasi ( pengumpulan atau penghimpunan, dan biasanya dibutuhan perulangan dalam melakukannya untuk sampai kepada kualitas yang diinginkan ). Untuk dapat mencapai kualitas dari sesuatu yang dikerjakan / dilakukan / diperankan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui “kualitas syarat” yang dibutuhkan.
Kualitas syarat adalah segala sesuatu yang harus dilakukan dan dengan cara apa melakukannya untuk dapat mencapai suatu tingkatan kualitas. Kualitas syarat lah yang dapat mengantarkan kita mencapai tingkatan-tingkatan kualitas tersebut. Dengan demikian bisa kita fahami bahwa untuk mencapai kualitas yang tinggi dan untuk terus mempertinggi sebuah kualitas ( telah sampai menjadi bagian sifat atau telah berpadu dengan kita ) maka proses pengumpulan dan penghimpunan menggunakan kualitas syarat tentu harus dilakukan secara terus menerus.
Kita gunakakan perandaian berikut untuk memahami pemaparan diatas, Bila : ES ditetapkan sebagai kualitas rendah ; AIR MENDIDIH ditetapkan sebagai kualitas yang lebih tinggi ; SUHU adalah kualitas syaratnya, maka untuk menghasilkan kualitas yang tinggi, yaitu air yang mendidih, dibutuhkan akumulasi dari kualitas syarat ( menjaga panas yang ideal secara terus-menerus sehingga meningkatkan suhu ), dalam contoh ini dikatakan ” untuk merubah Es menjadi Air yang Mendidih maka dibutuhkan akumulasi Suhu dengan cara memanaskan Es dalam suatu tempat tertentu diatas atas api secara terus-menerus “.
Contoh lainnya, bila : DUNGU ditetapkan sebagai kualitas rendah ; PINTAR ditetapkan sebagai kualitas yang lebih tinggi ; maka yang menjadi kualitas syaratnya adalah ILMU PENGETAHUAN ( belajar terus menerus sehingga meningkatkan ilmu pengetahuan ), dalam contoh ini dikatakan ” untuk merubah orang Dungu menjadi Orang Pintar maka dibutuhkan akumulasi Ilmu Pengetahuan dengan cara belajar terus menerus “
MUNGKIN SAJA SESUATU BISA DITIRU TAPI KUALITASNYA TIDAK DAPAT DIPALSUKAN
Mengapa Kualitas begitu penting ? jawabannya adalah : karena apapun yang sedang kita lakukan atau kerjakan sering kali dihadapkan pada “penilaian” atau memacing sebuah penilaian, dan ketika sesuatu itu sedang menjalani proses penilaian ( akan diberi nilai ), tentu saja kita akan berhadapan dengan si penilai dan tentu saja kita sangat berharap mendapatkan nilai yang baik.
Untuk memastikan kelayakan sebuah nilai yang diberikan oleh penilai atau dengan kata lain nilai yang didapatkan oleh orang yang tengah dinilai, maka disini menjadi sangat penting untuk terlebih dahulu kita meletakkan sebuah standar penilaian yang terukur, dapat dipertanggungjawabkan dan objektif untuk menghindari sebuah nilai relatif atau nisbi atau tidak mutlak yang berpotensi menjadi subjektif.
Harus menjadi pertimbangan utama bagi seseorang yang sedang memerankan atau mengerjakan sesuatu yang akan dinilai atau berpotensi memancing suatu penilaian untuk juga memprediksi atau mengukur kualitas dari si penilai. hal ini menjadi penting karena nilai yang akan akan muncul atau diberikan atau didapatkan natinya sesungguhnya adalah hasil dari “adu kualitas atau membandingkan kualitas” seorang penilai dengan seseorang yang dinilai.
Dalam kenyataannya sering kali seseorang yang tengah mengerjakan sesuatu dan sedang menghadapi penilaian berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk memilih-milih penilai atau berharap akan berhadapan dengan penilai yang kualitasnya berada dibawahnya, sementara untuk mendapatkan nilai yang baik maka adalah wajib bagi seseorang yang dinilai untuk mampu mengesankan, menunjukkan dan meyakinkan si penilai bahwa dirinya telah menggunakan kualitas yang sama dan setara dengan si penilai dalam mengerjakan atau melakukan atau menampilkan sesuatu yang menjadi objek penilaian saat itu. Bila hal itu gagal dilakukan maka tentunya si penilai tidak akan memberikan nilai baik atau sempurna kepada orang yang mengerjakan sesuatu tersebut dengan kata lain si penilai akan memberikan nilai dibawah sempurna atau baik dengan pilihan, cukup baik, kurang baik, tidak baik, sangat tidak baik, buruk, sangat buruk dan nilai semisal itu lainnya.
Dengan demikian, bagi seseorang yang akan memberikan penilaian adalah mutlak untuk memiliki pemahaman serta penguasaan atas sesuatu yang akan dinilainya dan menguasai standar penilaiannya dengan baik. Hal ini dibutuhkan agar si penilai mampu menghasilkan sebuah nilai yang benar serta dapat menghindarkan kesalahan penilaian dan dapat mencegah / meminimalkan kecurangan yang mungkin dilakukan oleh orang yang sedang dinilai.
Salah satu bentuk kecurangan yang bisa dan sering dilakukan oleh seseorang untuk memanipulasi proses penilaian adalah “berpura-pura mengerti / memahami” atas suatu hal yang dijadikan objek penilaian atas dirinya. Tindakan manipulasi ini dilakukan agar memiliki peluang untuk menutupi ketidakmampuannya atau ketidaksiapannya atau ketidakpenguasaannya atas objek yang sedang dilakukan penilaian atas dirinya dengan tujuan berhasil mendapatkan nilai yang sesuai dengan harapannya / yang diinginkannya.
Sampai disini setidaknya kita memiliki kesadaran bahwa kepura-puraan adalah sangat mungkin terjadi atau justru sedang berlangsung berulang-ulang tepat dihadapan kita dan tentu saja kepuraa-puraan tersebut sangat berpotensi membawa atau memberikan dampak negatif bukan ?
SEPANDAI-PANDAI ORANG DUNGU BERPURA-PURA PINTAR, TETAP DUNGU JUGA
Dari uraian dan analisa singkat serta sederhana diatas, kita akan lanjutkan dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak berhadiah sepeda tentunya, pertanyaannya adalah : “Mampukah seseorang atau sekumpulan orang DUNGU untuk BERPURA-PURA PINTAR ? Ya, sekedar untuk berpura-pura pintar saja, yang saya maksud adalah sebuah kepura-puraan yang dapat menyembunyikan kedunguannya. Tidak perlu benar-benar pintar karena dipastikan orang dungu adalah orang yang malas dan menolak untuk menjadi pintar, sehingga tentu saja mustahil orang seperti ini pintar.
Akan muncul jawaban seperti ini : “TIDAK MUNGKIN BISA” karena berpura-pura adalah tindakan peniruan, pemeranan, pengesanan atau pencitraan dengan tujuan untuk mengelabui / mengalihkan kesan dari kondisi yang sebenarnya sehingga seseorang yang ingin berhasil atau sukses berpura-pura tentang sesuatu sudah harus pernah mengalami sendiri / merasakan sendiri hal yang akan ditirukannya / dicitrakannya atau setidaknya telah dengan sungguh-sungguh berlatih secara mendalam untuk menguasai peran atas suatu objek kepura-puraannya.
Sangat tidak memungkinkan bagi seseorang yang dungu akan mampu dan sukses berpura-pura pintar karena dia pelum pernah mengalami menjadi pintar atau memiliki pengalaman pernah menjadi pintar sebelumnya karena bila si dungu pernah menjadi pintar sebelumnya maka dia sudah terlepas dari kedunguannya. Selain itu, karena seorang dungu memiliki sifat malas maka tentu dia tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk sungguh-sungguh berlatih secara mendalam untuk menguasai peran atas suatu objek kepura-puraannya.
Logika dari jawaban tadi kemudian diperkuat dengan contoh-contoh berikut :
- Seorang anak baru akan bisa menjiwai berpura-pura kepedasan apabila sebelumnya dia pernah merasakan sensasi pedas / mengalami sendiri perasaan kepedasan.
- Bagaimana mungkin seseorang perempuan yang tidak cantik bisa berpura-pura cantik ? lalu kemudian memiliki rasa percaya diri akan lolos seleksi sebuah kontes ratu kecantikan yang ingin dia ikuti.
- Apakah berpura-pura tidak terlihat akan benar-benar menjadikan seseorang tidak terlihat apabila pada kenyataannya dia tidak sedang bersembunyi ?
- Dapatkah seorang murid pemalas dan bodoh lulus dari sebuah ujian sekolah bila ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan jawaban yang pura-pura benar ?
- Seseorang tidak perlu berpura-pura tidak kenal terhadap orang yang memang belum pernah dikenalnya
- Suatu kemustahilan bagi seseorang yang miskin untuk berpura-pura kaya bukan ? karena dia membutuhkan harta yang memadai dan butuh penguasaan gaya serta kebiasaan orang kaya untuk sukses memerankan keadaan kaya tersebut.
Atau akan muncul juga jawaban berbeda, seperti ini : “Ada kok orang yang bisa berpura-pura menjadi dokter atau polisi”. Atas jawaban ini, kita terpaksa sependapat hanya pada titik bahwa benar ada orang yang dapat meniru seorang dokter atau polisi dengan cara menggunakan pakaian / seragam serta atribut-atribut dalam profesi kedokteran atau kedinasan polisi … TOBE CONTINUED
Hagana Ariko – Indonesia, 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2014
Opini di hari Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia